https://ojs.unsiq.ac.id/index.php/pfsh/issue/feedFSH UNSIQ PROCEEDING SERIES: On Islamic Studies, Sharia and Law2018-02-19T22:58:58+07:00Muhamad Ali Mustofa Kamalfshunsiq@gmail.comOpen Journal Systems<p style="margin: 0px; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><em><span style="margin: 0px; font-family: 'Cambria','serif'; font-size: 12pt;">FSH UNSIQ PROCEEDING SERIES</span></em><span style="margin: 0px; font-family: 'Cambria','serif'; font-size: 12pt;"> report findings presented at many of the most important scientific meetings around the world. Topics covered include law, applied law, halal certification. Published proceedings are valuable as topical status reports providing quick access to information before it appears in the traditional journal literature.</span></p> <p style="margin: 0px; text-align: justify; text-indent: 36pt;"> </p>https://ojs.unsiq.ac.id/index.php/pfsh/article/view/45Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal Pasca Berlakunya UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap Konsumen di Indonesia2018-02-19T11:32:24+07:00Muhammad Azizmohaziv@yahoo.comFadholi M Noerfadholi_noer@yahoo.com<p><em>This study will reveal how the Implementation of Halal Product Guarantee after the coming into effect of Law No. 33 of 2014 on Halal Product Guarantee as Consumer Protection Effort in Indonesia? Before the enactment of Law No. 33 of 2014 on Halal Product Guarantee, the implementation and implementation of Halal Product Guarantee is managed by LPPOM MUI. There are many problems when the implementation of halal product guarantee is still managed by private institutions. Therefore, the government finally issued Law No. 33 of 2014 on Halal Product Guarantee.</em></p> <p><em>From the analysis that has been done this study concluded, that the implementation of the guarantee of halal products after the issuance of Law no. 33 of 2014 on the guarantee of halal products is the responsibility of the so-called Halal Product Assurance Management Agency (BPJPH), which is under the auspices of the Ministry of Religious Affairs. BPJPH is tasked with: (a) To formulate and implement JPH policy; (b) Establish norms, standards, procedures and JPH criteria; (c). Issuance and revocation of halal certificate and Halal label on the product; (d) Conducting the registration of halal certificate on overseas products; (e). Conducting socialization, education and publication of halal products; (f). Implementing accreditation of LPH; (g). registration of Halal Auditor; (h). Carry out monitoring of JPH; (i). Carry out coaching of halal auditors; and J). Cooperating with domestic and foreign institutions in the field of JPH implementation. In addition, that the existence of UU JPH is very aligned to support the existence of existing regulations, especially in order to protect consumers, be they Muslim or other consumers.</em></p>2018-02-19T00:00:00+07:00##submission.copyrightStatement##https://ojs.unsiq.ac.id/index.php/pfsh/article/view/50Halal Marketing: Upaya Memasarkan Produk Berdasarkan Prinsip Syari'ah Dalam Bisnis2018-02-19T11:32:28+07:00Hery Purwantounsiqhepu@gmail.com<p><strong>Abstract</strong></p> <p>This paper aims to reveal how the effective way that can be used as a device and system to market products based on sharia principles in the business and business world. The business world is in dire need of media marketing and marketing, this fact can not be denied. However, many ways are done in marketing, tend to be excessive and do not pay attention to the moral and shariah / halal aspects. For that reason, sharia-based marketing or halal system, to be something to try alternative. In this study, there are several things found, including: The principle of halal marketing at least pay attention to two factors about the concept of halal, namely: The first factor, halal aspect and thoyyib is one aspect that is considered for Muslims in consuming. Halal here is not only seen from the substance consumed but also halal in its acquisition. In this case the money used to get the goods or services it must be kosher, for example the result of a lawful work, not stealing, not money on usury and not money from the result of corruption. The second factor that increases the demand for halal products is the increasing preference of non-Muslim communities to consume halal-labeled products. This phenomenon is seen in the Philippines, a country with a minority Muslim population (only 10 percent of the total population of 84 million people). This phenomenon also occurs in France and other European countries. The preference for halal products is one of them related to quality issues that are more secure and hiegienitas halal products.</p> <p><em> </em><strong><em>Keyword:</em></strong><em> Halal Marketing, Product, Halal System, Business, and Shariah</em></p> <p> <strong>Abstrak</strong></p> <p>Paper ini bertujuan untuk mengungkap, bagaiamana cara efektif yang dapat digunakan sebagai perangkat dan sistem untuk memasarkan produk berdasarkan prinsip syariah dalam dunia bisnis dan usaha. Dunia usaha sangat membutuhkan media marketing dan pemasaran, kenyataan ini tidak dapat dipungkiri. Namun demikian, banyak cara yang dilakukan dalam pemasaran, cenderung berlebihan dan tidak memperhatikan aspek moral dan syariah/halal. Untuk itulah, marketing berbasis syariah atau system yang halal, menjadi sesuatu alternatif yang harus dicoba. Dalam kajian ini, terdapat beberapa hal yang ditemukan, diantaranya: Prinsip marketing halal setidaknya memperhatikan dua faktor mengenai konsep halal, yaitu: Faktor pertama, aspek halal dan thoyyib merupakan salah satu aspek yang diperhatikan bagi umat Islam dalam mengkonsumsi. Halal disini tidak saja dilihat dari zat yang dikonsumsi namun juga halal dalam perolehannya. Dalam hal ini uang yang digunakan untuk mendapatkan barang atau jasa itu pun harus halal, misalkan hasil dari kerja yang halal, bukan mencuri, bukan uang atas riba dan bukan pula uang hasil dari korupsi. Faktor kedua yang meningkatkan permintaan akan produk halal adalah meningkatnya preferensi masyarakat non muslim untuk mengkonsumsi produk-produk berlabel halal. Fenomena ini terlihat di Filiphina, negara dengan penduduk muslim minoritas (hanya 10 persen dari total penduduk sebanyak 84 juta jiwa). Fenomena ini juga terjadi di Prancis dan negara-negara Eropa lainnya. Preferensi akan produk-produk halal ini salah satunya terkait dengan masalah kualitas yang lebih terjamin dan hiegienitas produk-produk halal.</p> <p><em> </em><strong><em>Kata Kunci:</em></strong><em> Halal Marketing, Product, System Halal, Bisnis, dan Syariah</em></p>2018-02-19T00:00:00+07:00##submission.copyrightStatement##https://ojs.unsiq.ac.id/index.php/pfsh/article/view/77Issue Ushul Fiqh dalam Kajian Produk Halal (Kajian pada Prinsip Al-Awamir, Al Nawahy, Al-'Am, Al Khash, Al-Mujmal Dan Al-Mubayyan)2018-02-19T11:32:37+07:00Muhammad Azizmohaziv@yahoo.comMashudi -mashudi_69@yahoo.co.id<p><strong>Abstract</strong></p> <p>This paper will reveal how the principles of Al-Awamir, Al-Nawahy, Al- 'Am, Al-Khash, Al-Mujmal and Al-Mubayyan in the study of ushul fiqh speak about Halal Products. That the determination of halal and haram in matters relating to consumption is categorized into several things, namely first, the determination by referring to the use of the word halal and haram mentioned in the verses of the Qur'an and hadith. However, there are several verses related to the halal-haram, not yet understood with a cursory understanding / directly when sesoorang hear the verse. Yet what is desired of any reading in the Qur'an or the main hadith is to provide a comprehensive peamahaman for those who hear and read it. In this paper it is concluded that the study of the principles of Al-Awamir, Al-Nawahy, Al-'Am, Al-Khash, Al-Mujmal and Al-Mubayyan in the study of ushul fiqh which talked about the material of Halal Products, in QS. al-Maidah verses 03 and verse 04, which speaks on the topic of halality of al-Thoyyibat and the prohibition of al-maitah and so on. Both verses, in the view of some scholars' are categorized as mujmal forms of texts, it needs an explanation (al-bayan) from another verse or hadith of the Prophet, in order to be comprehensively understood verse.</p> <p><em> </em><strong>Keyword:</strong><em> Halal, Haram, Al-Awamir, Al-Nawahy, Al-‘Am, Al-Khash, Al-Mujmal dan Al-Mubayyan, </em></p> <p> <strong>Abstrak</strong></p> <p>Makalah ini akan mengungkapkan bagaimana prinsip-prinsip Al-Awamir, Al-Nawahy, Al-'A, Al-Khash, Al-Mujmal dan Al-Mubayyan dalam studi ushul fiqh berbicara tentang Produk Halal. Bahwa penentuan halal dan haram dalam hal-hal yang berkaitan dengan konsumsi dikategorikan menjadi beberapa hal, yaitu pertama, tekad dengan mengacu pada penggunaan kata halal dan haram yang disebutkan dalam ayat-ayat Alquran dan hadits. Namun, ada beberapa ayat yang berkaitan dengan halal-haram, belum dipahami dengan pengertian sepintas / langsung saat sesoorang mendengar ayat tersebut. Namun apa yang diinginkan dari setiap bacaan dalam Al Qur'an atau hadis utama adalah untuk memberikan peamahaman yang komprehensif bagi mereka yang mendengar dan membacanya. Dalam makalah ini disimpulkan bahwa studi tentang prinsip-prinsip Al-Awamir, Al-Nawahy, Al- 'Am, Al-Khash, Al-Mujmal dan Al-Mubayyan dalam studi ushul fiqh yang berbicara tentang bahan Produk Halal, di QS. al-Maidah ayat 03 dan ayat 04, yang berbicara tentang topik tentang halal al-Thoyyibat dan larangan al-maitah dan seterusnya. Kedua ayat tersebut, menurut pandangan beberapa ilmuwan 'dikategorikan sebagai bentuk teks mujmal, perlu penjelasan (al-bayan) dari ayat atau hadits Nabi yang lain, agar dipahami secara komprehensif.</p> <p> <strong>Kata Kunci:</strong><em> Halal, Haram, Al-Awamir, Al-Nawahy, Al-‘Am, Al-Khash, Al-Mujmal dan Al-Mubayyan,</em></p> <p><em> </em></p>2018-02-19T00:00:00+07:00##submission.copyrightStatement##https://ojs.unsiq.ac.id/index.php/pfsh/article/view/76Halal Food & Penetapan Fatwa Halal2018-02-19T11:32:47+07:00Muhamad Takhimtakhim76@yahoo.co.idRatna Wijayantiwijayantiratna34@yahoo.co.id<p><strong>Abstract</strong></p> <p>In the teachings of Islam many regulations relating to '' food '', from starting to organize halal food and haram, ethics (adab) food, to regulate the ideality and quantity of food in the stomach. Basically all foods and beverages derived from vegetable, fruits and animals vegetables are halal except those that are toxic and endanger human life. Food for Muslims is not just the fulfillment of the needs of the outward, but also part of the spiritual needs that absolutely protected. For that the teachings of Islam ordered his people to eat and use materials that kosher thayyib. Thus halal-haram is not a simple question that can be ignored, but an important issue and received great attention in the teachings of Islam. Consuming halal food and thayyib is the actualization of the quality of understanding, appreciation and practice of religious teachings which in fact is one of the directions of policy development in the field of religion. Therefore, the government is obliged to provide services in the form of guarantee, protection to religious people (Muslims) to avoid the danger of products that are haram even syubhat and provide guidance service to the empowerment of religious people (Muslims) to consume the kosher and thayyib and avoid from extravagant behavior (israf) and exaggeration (tabzir) and out of the ordinary. One form of protection from the government is with the establishment of the Fatwa on Halal food and Law regulate it is Law no. 33 of 2014 on Halal Product Guarantee, Law no. 36 Year 2009 on Health, Law no. 8 of 1999 on Consumer Protection, Law no. 7 of 1996 on Food.</p> <p> <strong>Keywords:</strong><em>Halal, Food, Halal Fatwa.</em></p> <p><strong> </strong><strong>Abstrak</strong></p> <p>Dalam ajaran Islam banyak peraturan yang berkaitan dengan ’’makanan’’, dari mulai mengatur makanan yang halal dan haram, etika (adab) makanan, sampai mengatur idealitas dankuantitas makanan di dalam perut. Pada dasarnya semua makanan dan minuman yang berasal dari tumbuh-tumbuhan sayur-sayuran, buah-buahan dan hewan adalah halal kecuali yang beracun dan membahayakan nyawa manusia.Makanan bagi umat Islam tidak sekedar pemenuhan kebutuhan secara lahiriah, akan tetapi juga bagian dari kebutuhan spritual yang mutlak dilindungi. Untuk itu ajaran agama Islam memerintahkan umatnya agar memakan dan menggunakan bahan-bahan yang halal thayyib. Dengan demikian halal-haram bukanlah persoalan sederhana yang dapat diabaikan, melainkan masalah yang penting dan mendapat perhatian besar dalam ajaran Islam. Mengkonsumsi makanan yang halal dan thayyib merupakan aktualisasi kualitas pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran agama yang notabene merupakan salah satu butir arah kebijakan pembangunan bidang agama. Oleh karenanya pemerintah berkewajiban memberikan pelayanan berupa jaminan, perlindungan kepada umat beragama (umat Islam) terhindar dari bahaya produk-produk yang haram bahkan syubhat serta memberikan pelayanan bimbingan kepada pemberdayaan umat beragama (umat Islam) untuk mengkonsumsi yang halal dan thayyib serta menghindari dari perilaku boros ( israf) dan berlebih-lebihaan (tabzir) serta di luar kewajaran. Salah satu wujud perlindungan dari pemerintah adalah dengan adanya penetapan Fatwa mengenai makanan Halal dan Undang undang mengaturnya diantaranya adalah UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan.</p> <p> <strong>Kata Kunci:</strong><em>Halal, Makanan, Fatwa Halal.</em></p>2018-02-19T00:00:00+07:00##submission.copyrightStatement##https://ojs.unsiq.ac.id/index.php/pfsh/article/view/43Dominasi Simbolik Majlis Ulama Indonesia (MUI) Dalam Konstelasi Sertifikasi Halal dI Indonesia2018-02-19T11:51:58+07:00Suad Fikriawansuad.fikriawan@gmail.com<p align="center" style="margin: 0px; text-align: center;"><strong><span style="margin: 0px; font-family: 'Gill Sans MT','sans-serif'; font-size: 12pt;">Abstract</span></strong></p> <p style="margin: 0px; text-align: justify;"><span style="margin: 0px; color: #212121; font-family: 'Gill Sans MT','sans-serif'; font-size: 12pt;">Halal certification is a form of obligation to protect the rights of consumers. halal certification can also increase consumer confidence in the quality of a product. In Indonesia, the authority to issue halal certification is LPPOM MUI. However, in playing the role of LPPOM MUI much criticized because some problems. The issue then sparked a controversy over the authority of the proxy over its main halal certification of the formal legal backdrop, the accredited auditor, and the halal supervisory system. Therefore, the government's initiative to enact Law No. 33 of 2014 on Halal Product Guarantee to be an alternative solution approved by several parties. But behind all that, how the existence of LPPOM MUI in the middle of the pros cons, even up to the legalization of Halal Product Guarantee Act is a challenge for LPPOM MUI. So in addressing these problems researchers try to examine through the framework of Symbolic Dominance analysis offered by Pierre Bourdieu. So the purpose of this research is to try to analyze how Dominic Symbolic Pierre Bourdieu in reading the existence, role and function of MUI in halal certification constellation through sociological approach. Especially since the establishment of MUI until the enactment of Law on Halal Product Guarantee. This research uses qualitative approach with text discourse analysis method through book literature, research journal, newspaper, and other online media. If traced from the beginning of the birth of MUI, this institution has a strong embryo in dominating halal certification in Indonesia. This is due to the support of capital and arena that surrounds its habitus (legitimator of halal fatwa). If in the new order MUI's habitus pattern is the legitimator of fatwas that support government policies due to government dominance and MUI requires the support of capital and the arena to survive the existence of its role, it is different in the reform era, where MUI tends to be more aggressive in searching for new opportunities enabling MUI to maintain its habitus while strengthening its silmbolic dominance. And in fact, MUI has always benefited and gained a strategic position in society and government. In fact, due to the long process it undergoes in acting as a fatwa institution, in that context its symbolic dominance is almost irreplaceable, even though the Halal Product Guarantee Act (UU JPH) has been enforced and the Halal Product Security Organizing Body (BPJPH) has been inaugurated. This is because the MUI's habitus, capital and arena are in a stronger position than others.</span></p> <p style="margin: 0px; text-align: justify;"><strong><span style="margin: 0px; color: #212121; font-family: 'Gill Sans MT','sans-serif'; font-size: 12pt;">Keywords:</span></strong><em><span style="margin: 0px; color: #212121; font-family: 'Gill Sans MT','sans-serif'; font-size: 12pt;">Symbolic Dominance, MUI, Halal Certification</span></em></p> <p style="margin: 0px; text-align: justify;"><span style="margin: 0px; font-family: 'Gill Sans MT','sans-serif'; font-size: 12pt;"> </span></p> <p style="margin: 0px; text-align: justify;"><span style="margin: 0px; font-family: 'Gill Sans MT','sans-serif'; font-size: 12pt;"> </span><strong><span style="margin: 0px; font-family: 'Gill Sans MT','sans-serif'; font-size: 12pt;">Abstrak</span></strong></p> <p style="margin: 0px; text-align: justify;"><span style="margin: 0px; font-family: 'Gill Sans MT','sans-serif'; font-size: 12pt;">Sertifikasi halal merupakan wujud kewajiban untuk melindungi hak-hak konsumen. sertifikasi halal juga dapat meningkatkan kepercayaan konsumen atas kualitas suatu produk. Di Indonesia yang berwenang dalam menerbitkan sertifikasi halal adalah LPPOM MUI. Namun, dalam memerankan fungsinya LPPOM MUI banyak menuai kritik karena beberapa problem. Problem itu kemudian memicu kontroversi terkait otoritas kuasa atas sertifikasi halal utamanya tentang sandaran hukum formal, auditor terakriditasi, dan sistem pengawasan halal. Untuk itu, inisisasi pemerintah menggulirkan UU nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal menjadi solusi alternative yang disetujui beberapa pihak. Namun dibalik semua itu, bagaimana sesungguhnya eksistensi LPPOM MUI di tengah pro kontra tersebut, bahkan sampai di sahkannya UU Jaminan Produk Halal adalah tantangan tersendiri bagi LPPOM MUI. Maka dalam menyikapi problem tersebut peneliti mencoba mengkaji melalui rerangka analisis Dominasi Simbolik yang ditawarkan oleh Pierre Bourdieu. Sehingga tujuan dalam penelitian ini adalah mencoba menganalisis bagaimana Dominasi Simbolik Pierre Bourdieu dalam membaca eksistensi, peran dan fungsi MUI dalam konstelasi sertifikasi halal melalui pendekatan sosiologis. Utamanya sejak berdirinya MUI sampai disahkannya UU Jaminan Produk Halal. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis wacana teks melalui literatur buku, Jurnal penelitian, surat kabar, dan media online lainnya. Jika ditelusuri sejak awal kelahiran MUI, lembaga ini memiliki embrio yang kuat dalam mendominasi sertifikasi halal di Indonesia. Hal ini karena dukungan modal dan arena yang melingkupi habitus-nya (legitimator fatwa halal). Jika pada orde baru pola habitus MUI adalah legitimator fatwa yang mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah disebabkan dominasi pemerintah dan MUI membutuhakn dukungan modal dan arena untuk bertahan pada eksistensi perannya, maka berbeda pada era reformasi, dimana MUI cenderung lebih agresif dalam mencari peluang-peluang baru yang memungkinkan MUI dapat mempertahankan habitus-nya sekaligus memperkuat dominasi silmboliknya. Dan pada kenyataannya, MUI selalu diuntungkan dan mendapatkan posisi yang strategis di<span style="margin: 0px;"> </span>masyarakat maupun pemerintahan. Bahkan karena proses panjang yang dilaluinya dalam memerankan diri sebagai lembaga fatwa, maka dalam konteks itu dominasi simboliknya nyaris tidak tergantikan, meskipun Undang Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) telah diberlakukan dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) telah diresmikan. Hal ini dikarenakan habitus, modal, dan arena yang dimiliki MUI berada pada posisi yang lebih kuat dibandingkan yang lainnya.</span></p> <p style="margin: 0px; text-align: justify;"><span style="margin: 0px; font-family: 'Gill Sans MT','sans-serif'; font-size: 12pt;"> </span><strong><span style="margin: 0px; font-family: 'Gill Sans MT','sans-serif'; font-size: 12pt;">Kata Kunci:</span></strong><span style="margin: 0px; font-family: 'Gill Sans MT','sans-serif'; font-size: 12pt;"> Dominasi Simbolik, MUI, Sertifikasi Halal</span></p>2018-02-19T00:00:00+07:00##submission.copyrightStatement##https://ojs.unsiq.ac.id/index.php/pfsh/article/view/48Screning Criteria Sebagai Penentu Penerbitan Efek Syari'ah dI Jakarta Islamic Index (JII) Aplikasi Konsep Hala Pada Ethical Invesment2018-02-19T11:52:15+07:00Nurma Khusna Khanifanurma_khusna@ymail.comSafwan -safwan_nad26@ymail.com<p>Pasar modal syariah memiliki karakteristik khusus, yakni bisnis utama perusahaan tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam serta tidak boleh melanggar prinsip dan ketentuan yang ditetapkan oleh DSN-MUI dan Bapepam-LK (saat ini OJK). Pengembangan kinerja pasar modal syari’ah diawali dengan analisis kinerja investasi yang sesuai dengan etika (<em>ethical investment</em>). Atas dasar itulah, permasalahan penting yang harus diatur dalam pasar modal syariah ini adalah tentang <em>screening criteria</em>. <em>Screening criteria</em> adalah parameter atau landasan yang menjadi kriteria bagi jenis surat berharga yang dapat di <em>listing</em> atau dipasarkan pada pasar modal syariah Jakarta Islamic Index (JII).</p> <p>Dalam mengetahui <em>ethical invesment</em> dan <em>screening criteria</em> menggunakan metode kualitatif studi kepustakaan berupa hukum normatif, penelitian ini menggunakan konsep penelitian kolaboratif yang dilakukan di dua tempat yaitu Wonosobo dan Lhokseumawe. Hasil yang didapat proses penyaringan Efek menjadi Efek syariah didasarkan pada 2 (dua) kriteria, yakni kriteria bisnis (kualitatif) dan kriteria keuangan (kuantitatif). Kriteria kualitatif <em>ethical invesment</em> menghindari bisnis dari kegiatan <em>maisir</em>, <em>ribawi,</em> <em>gharar</em> dan objek yang haram. Kriteria kuantitatif berupa <em>screening</em> <em>criteria </em>rasio utang berbasis bunga dan pendapatan non halal masing-masing maksimal 45% dan 10%. DSN-MUI dan Bapepam LK menjelaskan bahwa konsep yang digunakan untuk menetapkan persentase tersebut adalah <em>tafriq al-halal an</em> <em>al-haram </em>sebagai ijtihad kolektif.</p>##submission.copyrightStatement##https://ojs.unsiq.ac.id/index.php/pfsh/article/view/49Emotikonik Islami: Menuju Branding Produk Halal (Suatu Agenda Penelitian)2018-02-19T11:52:20+07:00Hendri Hermawan Adinugrahahendri.hermawan@dsn.dinus.ac.idMahmud -mahmud@dsn.dinus.ac.idSih Darmi Astutisih.darmi.astuti@dsn.dinus.ac.id<p align="center" style="margin: 0px; text-align: center;"><strong><span style="background: white; margin: 0px; font-family: 'Gill Sans MT','sans-serif'; font-size: 12pt;">Abstract</span></strong></p> <p style="margin: 0px; text-align: justify;"><span style="margin: 0px; font-family: 'Gill Sans MT','sans-serif'; font-size: 12pt;">The rapid development of the halal industry market in the international arena has made the industry one of development priorities in many Muslim countries, including Indonesia. This is marked by the harmonization of the Law of the Republic of Indonesia Number 33 Year 2014 About Halal Product Guarantee that led to many Halal Inspection Agency "Halal Center" in the regions. In the future, the purpose of this research is to know the effectiveness of the implementation of Islamic emoticonic products in companies that already have the halal label of the product. On this research agenda raises the variable "Islamic emoticonic product" as an expansion of the concept of halal product thoyyiban, a product based on the provisions of teaching Islam. Islamic emoticonic product is a product that is kosher and toyyib (useful), has the power of ukhuwah and barokah (blessing), that is sharia principle which is adhered to and applied to the product produced by company through process of good halal product (toyyib).</span></p> <p style="margin: 0px; text-align: justify;"><strong><span style="margin: 0px; font-family: 'Gill Sans MT','sans-serif'; font-size: 12pt;">Keywords:</span></strong><em><span style="margin: 0px; font-family: 'Gill Sans MT','sans-serif'; font-size: 12pt;">halal products and Islamic emoticonic</span></em></p> <p style="margin: 0px; text-align: justify;"> </p> <p style="margin: 0px; text-align: justify;"><strong><span style="background: white; margin: 0px; font-family: 'Gill Sans MT','sans-serif'; font-size: 12pt;">Abstrak</span></strong></p> <p style="margin: 0px; text-align: justify;"><span style="background: white; margin: 0px; font-family: 'Gill Sans MT','sans-serif'; font-size: 12pt;">Perkembangan pasar industri halal yang demikian pesat di kancah internasional telah menjadikan industri tersebut sebagai salah satu prioritas pembangunan di banyak negara muslim, termasuk Indonesia. Hal ini ditandai dengan adanya harmonisasi </span><span style="margin: 0px; font-family: 'Gill Sans MT','sans-serif'; font-size: 12pt;">Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal yang memunculkan banyak Lembaga Pemeriksa Halal “Halal Center” di daerah-daerah. Kedepannya, tujuan penelitian ini adalahuntuk mengetahui efektivitas implementasi produk emotikonik islami di perusahaan yang sudah memiliki label halal produknya.Pada agenda penelitian ini memunculkan variabel “produk emotikonik islami”sebagai suatu pengembangan dari konsep produk <em>halalan thoyyiban</em>, sebuah produk yang melandaskan pada ketentuan-ketentuan ajaran agama Islam. Produk emotikonik islami merupakan suatu produk yang <em>halal</em> dan <em>toyyib</em> (bermanfaat), memiliki kekuatan <em>ukhuwah</em> dan <em>barokah</em> (berkah), yaitu prinsip syariah yang sangat ditaati dan diterapkan pada produk yang dihasilkan oleh perusahaan melalui proses produk halal yang baik (<em>toyyib</em>).</span></p> <p style="margin: 0px; text-align: justify;"><strong><span style="background: white; margin: 0px; font-family: 'Gill Sans MT','sans-serif'; font-size: 12pt;">Kata Kunci</span></strong><em><span style="background: white; margin: 0px; font-family: 'Gill Sans MT','sans-serif'; font-size: 12pt;">: produk halal dan emotikonik islami.</span></em></p>2018-02-19T04:36:47+07:00##submission.copyrightStatement##https://ojs.unsiq.ac.id/index.php/pfsh/article/view/74Kontekstualisasi Makna Thoyyib dalam Al-Qur’an dan Implementasinya terhadap Kriteria Sertifikasi halal MUI2018-02-19T22:11:48+07:00Muhamad Ali Mustofa Kamalmusthofakamal@unsiq.ac.id<p><strong>Abstract</strong></p> <p>The use of “tayyib” vocabulary in the Qur'an has a meaning that is still very general but a special meaning when collaborating with halal context. The term Tayyib which coexists in the Qur'an has the meaning of everything that is considered good by the physical and the soul or anything that does not contain elements of reprehensible and repulsive nature. This research is conducted with qualitative approach based on literacy Qur'an verses by using interpretation analysis. The finding is that halal certification requirements require Absolute Thoyyib's criteria for a product labeled halal. The size of tayyib in which tafsir gives space criteria of halalness something, other than halal food products must be nutritious high (healthy), safe, proportional (not exaggerated) and also must heed etics (adab) eat and drink in consume it and how to get it. Everything is closely related to each other and can not be separated apart. Through the legality of halal certification of MUI, the criteria of halal make a legal certainty and in harmony with the interpretation of the Qur'anic texts that explain the criteria of halal and haram.</p> <p><strong>Keywords</strong>: tayyib, halal, products, halal haram criteria, MUI certification.</p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Penggunaan kosakata tayyib dalam al-Qur'an mempunyai makna yang masih sangat umum namun bermakna khusus ketika berkolaborasi dengan konteks halal. Term Tayyib yang beriringan di Al-Qur’an mempunyai makna segala sesuatu yang dianggap baik oleh fisik dan jiwa atau segala sesuatu yang tidak mengandung unsur sifat tercela dan menjijikkan. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan Kualitatif berbasis literasi Ayat-ayat Al-Qur’an dengan menggunakan analisis tafsir (interpretasi). Hasil temuannya adalah persyaratan sertifikasi halal mensyaratkan secara mutlak kriteria Thoyyib untuk sebuah produk yang berlabel halal. Ukuran tayyib dimana secara tafsir memberikan ruang kriteria-kriteria kehalalan sesuatu, selain halal produk makanan harus bergizi tinggi (sehat), aman, proporsional (tidak berlebih-lebihan) dan juga harus mengindahkan adab makan dan minum dalam mengkonsumsinya dan cara memperolehnya. Semuanya berkaitan erat satu sama lain dan tidak bisa dipisah pisahkan. Melalui legalitas sertifikasi halal MUI, kriteria kehalalan menjadikan sebuah kepastian hukum dan selaras dengan penafsiran nash-nash Al-Qur’an yang menjelaskan kriteria halal dan haram.</p> <p><strong>Kata Kunci:</strong><em>tayyib, halal, produk, kriteria halal haram, sertifikasi MUI.</em></p>2018-02-19T00:00:00+07:00##submission.copyrightStatement##https://ojs.unsiq.ac.id/index.php/pfsh/article/view/78Signifikansi Penentuan Fatwa Hukum Halal di Indonesia2018-02-19T22:11:54+07:00Muchamad Fauzimfuz73@gmail.com<p><strong>Abstract</strong></p> <p>This study will reveal how the Implementation of Halal Product Guarantee after the coming into effect of Law No. 33 of 2014 on Halal Product Guarantee as Consumer Protection Effort in Indonesia? Before the enactment of Law No. 33 of 2014 on Halal Product Guarantee, the implementation and implementation of Halal Product Guarantee is managed by LPPOM MUI. There are many problems when the implementation of halal product guarantee is still managed by private institutions. Therefore, the government finally issued Law No. 33 of 2014 on Halal Product Guarantee. From the analysis that has been done this study concluded, that the implementation of the guarantee of halal products after the issuance of Law no. 33 of 2014 on the guarantee of halal products is the responsibility of the so-called Halal Product Assurance Management Agency (BPJPH), which is under the auspices of the Ministry of Religious Affairs. BPJPH is tasked with: (a) To formulate and implement JPH policy; (b) Establish norms, standards, procedures and JPH criteria; (c). Issuance and revocation of halal certificate and Halal label on the product; (d) Conducting the registration of halal certificate on overseas products; (e). Conducting socialization, education and publication of halal products; (f). Implementing accreditation of LPH; (g). registration of Halal Auditor; (h). Carry out monitoring of JPH; (i). Carry out coaching of halal auditors; and J). Cooperating with domestic and foreign institutions in the field of JPH implementation. In addition, that the existence of UU JPH is very aligned to support the existence of existing regulations, especially in order to protect consumers, be they Muslim or other consumers.</p> <p><em> </em></p> <p><strong><em>Keywords:</em></strong><em> Implementation of Halal Product Guarantee, Law no. 33 years 2014, Consumer Protection, Halal Products and Thayyib.</em></p> <p><em> </em><strong>Abstrak</strong></p> <p>Kajian ini akan mengungkap bagaimana Pelaksanaan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal Pasca Berlakunya UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Sebagai Upaya Jaminan Perlindungan Bagi Konsumen di Indonesia? Sebelum diundangkannya UU No 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, pelaksanan dan penyelenggaraan Jaminan Produk Halal dikelola oleh LPPOM MUI. Terdapat banyak problem ketika penyelenggaraan jaminan produk halal masih dikelola oleh lembaga swasta. Maka dari itu, akhirnya pemerintah menerbitkan UU No 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Dari analisa yang telah dilakukan kajian ini berkesimpulan, bahwa penyelenggaran jaminan produk halal pasca diterbitkannya Undang-Undang No. 33 tahun 2014 tentang jaminan produk halal menjadi tanggung jawab lembaga yang disebut dengan Badan Pengelola Jaminan Produk Halal (BPJPH), yang berada di bawah naungan Kementerian Agama. BPJPH bertugas: (a) Merumuskan dan mentapkan kebijakan JPH; (b) Mentapkan norma, standart, prosedur dan kriteria JPH; (c). Penerbitan dan pencabutan sertifikat halal dan label Halal pada produk; (d) Melaksanakan registrasi sertifikat halal pada produk luar negri; (e). Mengadakan sosialisasi, edukasi, dan publikasi produk halal; (f). Melaksanakan akreditasi terhadap LPH; (g). registrasi Auditor Halal; (h). Menyelenggarakan pengawasan terhadap JPH; (i). Melaksanakan pembinaan auditor halal; dan (j). Melakukan kerjasama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH. Selain itu, bahwa keberadaan UU JPH sangat selaras mendukung keberadaan regulasi yang ada, khususnya dalam rangka untuk perlindungan konsumen, baik itu konsumen yang muslim atau yang lainnya.</p> <p><em> </em><strong>Kata Kunci:</strong><em> Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal, UU No. 33 tahun 2014, Perlindungan Konsumen, Produk Halal dan Thayyib. </em></p> <p><em> </em></p>2018-02-19T00:00:00+07:00##submission.copyrightStatement##https://ojs.unsiq.ac.id/index.php/pfsh/article/view/41Pribumisasi Hukum Islam Melalui Sertifikasi Halal Berbasis Pendekatan Inter-Cultural2018-02-19T22:12:03+07:00Akmal Bashoriakmalbashori@gmail.com<p><strong>Abstract</strong></p> <p>The indigenization of Islamic law through halal certification as part of the Islamic Islamization effort derived from God is accommodated in culture ('urf) derived from humans without losing their respective identities. Attempts to ground Islamic teachings through halal certification in the social, economic, cultural and legal spheres must be a unity in diversity, formed on the deep consciousness of each individual who is collectively in a socio-societal society in reference to the will of social ideas. This indigenous Islamic legal effort is represented in Act No. 33 of 2014 on Halal Security in Indonesia as its tools. However, this Act is not yet effective role, so it is necessary to get intermediary support from various parties. From this the author offers the intermediary concept of "indigenous Islamic law through Halal Certification" with a cultural approach. However, can Islam with halal certification lead to continued social change in the awareness of Islamic law as a culture? This paper examines the importance of halal certification with a patterned cultural approach in the concept of "indigenous Islamic law". To answer these questions, there should be an understanding that social structure in society is basically formed by unincidental agreement with deep awareness and based on the grandeur of value and harmony of purpose. This foundation is needed as an effort to understand the public about the importance of halal certification.</p> <p> <strong>Keywords:</strong><em>Indigenous Islamic Law, Halal and Inter-Cultural Certification</em></p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Pribumisasi hukum Islam melalui sertifikasi halal sebagai bagian dari upaya mengislamkan ajaran normatif yang berasal dari Allah diakomodasikan dalam kebudayaan (‘<em>urf</em>) berasal dari manusia tanpa menghilangankan identitas masing-masing. Usaha untuk membumikan ajaran Islam mealui sertifikasi halal dalam ranah sosial, ekonomi, budaya serta hukum harus menjadi satu kesatuan integral (<em>unity in diversity</em>), terbentuk atas kesadaran mendalam tiap individu yang terkolektif dalam wadah sosial-masyarakatmengacu pada kemauan ide sosial. Upaya pribumisasi hukum Islam ini secara riil direpresentasikan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Halal di Indonesia sebagai <em>tools-</em>nya. Namun, Undang-Undang ini dirasa belum efektif peranannya, sehingga perlu <em>intermediary</em> yang mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Dari sinilah penulis menawarkan konsep <em>intermediary</em> berupa “pribumisasi hukum Islam melalui Sertifikasi Halal” dengan pendekatan budaya. Namun, bisakah Islam dengan sertifikasi halal dapat membawa perubahan sosial yang berlanjut pada penyadaran hukum Islam sebagai sebuah budaya? Tulisan ini mengkaji pentingnya sertifikasi halal dengan pendekatan budaya yang terpola dalam konsep “pribumisasi hukum Islam”. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, perlu ada pemahaman bahwa struktur sosial dalam masyarakat pada dasarnya terbentuk atas kesepakatan <em>unincidental</em> dengan kesadaran mendalam serta didasari atas keluhuran nilai dan keharmonisan tujuan. Landasan ini diperlukan sebagai upaya untuk memahamkan masyarakat tentang pentingnya sertifikasi halal.</p> <p><strong>Kata kunci:</strong><em> Pribumisasi Hukum Islam, Sertifikasi Halal dan Inter-Cultural</em></p>2018-02-19T00:00:00+07:00##submission.copyrightStatement##https://ojs.unsiq.ac.id/index.php/pfsh/article/view/75Kepastian Hukum Produk Halal dI Indonesia2018-02-19T22:12:11+07:00Aksamawanti -aksamawanti@gmail.comMutho'am -muthoamwahid@gmail.com<p><strong>Abstract</strong></p> <p>The Indonesian Muslim community is the largest consumer of halal products. They have the constitutional right to obtain legal certainty of halal products according to their religious beliefs, which if not fulfilled their constitutional rights will have a wide impact on the national economy. The focus of this study is to examine what policies have been made by the government related to halal products, as well as how the policy content is to be analyzed. This research was approached by using juridical-normative. Issues were approached with several approaches including the statutory approach and the analytical approach. From the analysis of the policy made by the government regarding halal products is divided into three regimes: first: pre-certification regime in this regime the government has not made a policy on halal products provision halal given by the fatwa ulama and awareness of business actors, secondly: halal certification regime in this regime there is already a policy about halal product but still be optional and not obligation so society have not got legal certainty perfectly. Third: post regime in the issuance of Halal Product Warranty Act. In this regime legal certainty about halal product has been obtained as contained in Article 4 of Law Number 33 Year 2014.</p> <p><strong>Keywords:</strong><em>Halal Product, Legal Certainty, Halal Certification</em></p> <p> <strong>Abstrak</strong></p> <p>Masyarakat muslim Indonesia merupakan konsumen terbesar dalam mengkonsumsi produk halal. Mereka memiliki hak konstitusional untuk memperoleh kepastian hukum terhadap produk halal sesuai keyakinan agamanya, yang apabila tidak terpenuhi hak konstitusionalnya akan berdampak luas bagi perekonomian nasional. Fokus penelitian ini adalah menelaah kebijakan apa yang telah dibuat oleh pemerintah terkait dengan produk halal, serta bagaima content kebijakan tersebut untuk dianalisis. Penelitian ini didekati dengan menggunakan yuridis-normatif. Permasalahan didekati dengan beberapa pendekatan meliputi pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analisis.Dari analisis yang telah dilakukan kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah terkait produk halal terbagi menjadi 3 rezim: <em>pertama: </em>rezim pra sertifikasi pada rezim ini pemerintah belum membuat kebijakan tentang produk halal ketetapan halal diberikan oleh fatwa ulama dan kesadaran pelaku usaha , <em>kedua: </em>rezim sertifikasi halal pada rezim ini sudah ada kebijakan tentang produk halal tetapi masih bersifat pilihan dan bukan kewajiban sehingga masyarakat belum mendapat kepastian hukum secara sempurna. <em>Ketiga</em>: rezim pasca di terbitkannya Undang-Undang Jaminan Produk Halal. Pada rezim ini kepastian hukum tentang produk halal sudah diperoleh sebagaimana terdapat dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014.</p> <p><strong>Kata Kunci</strong>: <em>Produk Halal, Kepastian Hukum , Sertifikasi Halal </em></p>2018-02-19T00:00:00+07:00##submission.copyrightStatement##